GAJI BUTA DAN BUDAYA BOHONG:WAJAH BURAM PEMERINTAH DESA DI GRESIK
Gresik,23/07/2025_RADARPORTALJATIM.SITE Fenomena memprihatinkan kembali mencoreng wajah pemerintahan desa di Gresik. Laporan dari Desa Sekargadung, Kecamatan Dukun, menggambarkan praktik yang bukan sekadar kelalaian personal, melainkan sudah menjadi gejala sistemik. Kepala desa, Sumarto, diduga hanya datang untuk mengisi absensi lalu meninggalkan kantor, tanpa menjalankan kewajiban sebagai pemimpin masyarakat.
Yang lebih menyedihkan, perilaku ini tampaknya mendapat "perlindungan internal". Perangkat desa justru membantu menutup-nutupi ketidakhadiran itu dengan memberikan informasi palsu kepada warga. Warga pun merasa terabaikan dan tidak tahu harus mengadu ke mana. “Kalau kepala desa sendiri tak hadir dan tak bisa ditemui, ke mana rakyat harus mengadu?” ujar salah seorang warga dengan nada kecewa.
Bukan Kasus Tunggal, Tapi Budaya
Ironisnya, Sekargadung bukan satu-satunya. Informasi yang diterima redaksi menyebutkan, fenomena serupa juga terjadi di banyak desa lain di Kabupaten Gresik. Kepala desa yang menikmati gaji, tunjangan, dan fasilitas, tapi tidak hadir atau bekerja sebagaimana mestinya. Perangkat desa yang lebih memilih diam atau bahkan ikut menutupinya, dengan dalih loyalitas atau tekanan politik.
Ini bukan lagi soal satu dua individu. Ini adalah budaya—budaya abai terhadap tanggung jawab, budaya bohong untuk menutupi pelanggaran, dan budaya permisif dari atasannya yang membiarkan semuanya berjalan tanpa koreksi.
Krisis Integritas di Akar Rumput
Gresik kini menghadapi krisis integritas di tingkat pemerintahan paling bawah. Padahal desa adalah ujung tombak pelayanan publik. Ketika kepala desa tidak hadir dan perangkat desa menutup-nutupi kebenaran, maka pelayanan menjadi lumpuh. Rakyat kehilangan pegangan. Akibatnya, kepercayaan publik pada institusi pemerintahan tergerus secara perlahan namun pasti.
Aturan jelas menyatakan bahwa kepala desa wajib hadir dan memimpin jalannya pemerintahan desa setiap hari kerja. Begitu pula perangkat desa: mereka bukan alat untuk membungkam kritik, melainkan pelayan rakyat yang wajib menjunjung tinggi transparansi.
Di Mana Pengawasan Atasan?
Yang paling disayangkan, belum ada tindakan nyata dari pihak kecamatan, inspektorat, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), apalagi bupati. Pembiaran seperti ini justru memberi ruang bagi pembenaran atas penyimpangan. Ketika pelanggaran tidak dihukum, maka pelanggaran dianggap wajar. Inilah bentuk pembangkangan struktural terhadap negara dan rakyatnya.
Sudah saatnya Pemerintah Kabupaten Gresik turun tangan secara serius. Penegakan disiplin bukan sekadar persoalan administrasi, melainkan persoalan moral. Dan hari ini, moral itu sedang dilukai di banyak balai desa.
Catatan Akhir
Apa yang terjadi di Sekargadung dan desa-desa lain di Gresik bukan sekadar "gaji buta", ini adalah cermin kegagalan sistem pengawasan dan lemahnya penegakan nilai integritas. Jika ini terus dibiarkan, maka jangan heran jika publik kehilangan harapan terhadap pemerintahannya sendiri—mulai dari tingkat desa.
Pemerintah harus berani bertindak. Jika tidak, maka rakyatlah yang akan mengambil sikap—dengan caranya sendiri.
(Red/Iwan)
Editor yaya

Post a Comment